"Ditemukan juga aliran penggunaan uang sebagaimana perintah SYL yang ditujukan untuk kepentingan Partai NasDem dengan nilai miliaran rupiah," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam jumpa pers di gedung KPK, Jl Kuningan Persada, Jakarta, Jumat (13/10/2023).
KPK tak menjelaskan secara rinci nominal yang ditransfer. Begitu juga tujuan dari uang tersebut.
"KPK akan terus mendalami," kata dia.
KPK juga menyatakan akan terus menelusuri dan mendalami penerimaan-penerimaan dalam bentuk gratifikasi yang diterima SYL bersama-sama KS dan MH.
Alexander sempat menyebutkan dugaan penggunaan dana hasil korupsi yang dilakukan SYL.
Sementara, SYL sempat melakukan pemerasan kepada pejabat Kementan, saat masih menjabat sebagai Menteri Pertanian.
KPK akan Koordinasi dengan Satgas APH Soal Eks Petinggi Kejari Siantar Modifikasi Kerugian NegaraTribunnews.com
KPK akan Koordinasi dengan Satgas APH Soal Eks Petinggi Kejari Siantar Modifikasi Kerugian Negara
KPK menyatakan uang hasil dugaan korupsi digunakan untuk kepentingan pribadi SYL dan keluarganya.
"Penggunaan uang oleh SYL diketahui KS dan MH antara lain untuk pembayaran cicilan kartu kredit, cicilan pembelian mobil Alphard milik SYL, perbaikan rumah pribadi, tiket pesawat bagi keluarga, hingga pengobatan dan perawatan wajah bagi keluarga yang nilainya mencapai miliaran rupiah," katanya.
Dia mengatakan KPK menemukan bukti permulaan uang yang dinikmati SYL bersama-sama dengan Sekjen Kementan Kasdi Subagyono (KS) dan Direktur Alat dan Mesin Pertanian Kementan Muhammad Hatta (MH) sekitar Rp 13,9 miliar.
Dia mengatakan penyidik masih menelusuri lebih lanjut.
"Terdapat penggunaan uang lain oleh SYL bersama-sama KS dan MH serta sejumlah pejabat di Kementerian Pertanian untuk ibadah umrah di Tanah Suci senilai miliaran rupiah," kata Alexander.
Dalam kasus ini, Syahrul, Kasdi, dan Hatta telah ditetapkan sebagai tersangka. Ketiganya ditahan selama 20 hari ke depan.
Ketiganya disangkakan Pasal 12 huruf e dan 12B Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Pemberantasan Tipikor).
KPK juga menetapkan SYL sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dengan sangkaan Pasal 3 dan/atau Pasal 4 UU nomor 8 Tahun 2010 tentang TPPU.
Nasdem Ngelak
Bendahara Umum Partai Nasdem Ahmad Sahroni menyebutkan, tak ada aliran dana dari mantan Menteri Pertanian (Mentan) sekaligus anggota Dewan Pakar Nasdem, Syahrul Yasin Limpo, yang diterima partainya.
Sahroni mengatakan Syahrul cuma menyumbang dana sebesar Rp 20 juta.
Namun, uang itu diberikan Syahrul ke Fraksi Nasdem, bukan partai.
“Aliran yang terkait dengan ke Fraksi Nasdem iya Rp 20 juta, tapi kalau ke partai enggak,” kata Sahroni di Nasdem Tower, Jakarta Pusat, Kamis (12/10/2023) malam.
Menurut Sahroni, uang Rp 20 juta itu diberikan Syahrul sebagai sumbangan bantuan bencana alam.
“Itu untuk bencana alam bantuan bencana alam.
Anggota fraksi DPR RI memberikan bantuan macam-macam nilainya, tapi Pak SYL memberikan bantuan Rp 20 juta,” terangnya.
Sahroni pun mengaku tak keberatan jika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengecek langsung transaksi keuangan partainya.
Dia memastikan, tak ada uang Syahrul yang mengalir ke Nasdem.
"Kalau ke partai juga enggak ada, saya juga Bendahara Umum Partai, tidak ada transaksi terkait dengan urusan personal, enggak ada," kata Sahroni dalam acara Satu Meja The Forum Kompas TV, Rabu (11/10/2023).
“Kita semua terlaporkan tidak mau menerima pada transferan personal, kita bekerja dengan uang yang memang sudah didapatkan dari negara," tuturnya.
Sebelumnya, Rabu (11/10/2023), KPK resmi mengumumkan Syahrul dan dua anak buahnya sebagai tersangka dugaan gratifikasi pemerasan dalam jabatan.
Dua anak buah Syahrul tersebut yakni, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementan Kasdi Subagyono, serta Direktur Alat dan Mesin Pertanian Kementan Muhammad Hatta.
Menurut KPK, Syahrul dan dua anak buahnya diduga menikmati uang panas senilai Rp 13,9 miliar. Uang tersebut diterima dari setoran yang dimintakan secara paksa ke sejumlah aparatur sipil negara (ASN) di Kementan.
Mantan Gubernur Sulawesi Selatan itu disebut mengeluarkan kebijakan yang bersifat personal dengan memungut setoran atau pungutan dari ASN di
lingkungan Kementan.
Pandangan Pakar TPPU Yenti Garnasih
Pakar Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Yenti Garnasih memberikan komentar terkait dugaan adanya aliran dana korupsi yang mengalir ke Partai NasDem.
Menurut Yenti, mengenai dugaan aliran dana tersebut, perlu dilihat terlebih dahulu motif pemberian uang yang dilakukan oleh eks Mentan itu.
"Nanti kalau itu memang ke partai, dia sebagai kader partai, memang niat memberikan itu ke sana supaya nanti tetap jadi kadernya atau memang ada policy (kebijakan) dari partainya.
Itu kan harus dilihat juga," tutur Yenti dikutip dari YouTube Kompas TV.
Yenti kemudian menjelaskan, pendanaan partai itu memiliki aturan dan mekanisme sehingga terkait aliran itu seharusnya bisa diselidiki.
"Harusnya bisa, karena pendanaan partai itu ada aturannya, ini juga apalagi sebentar lagi pilkada, pilpres, pileg. Itu ada sumbangan-sumbangan yang boleh dilakukan, dari pribadi Rp1 miliar, dari korporat Rp7 miliar, itu KPU kan harus mulai siap-siap itu," tuturnya.
Di sisi lain, pihak partai yang menerima aliran dana bisa jadi tak mengetahui uang yang diterima merupakan hasil korupsi.
Pertanyaannya, apakah pihak yang menerima bisa dijatuhi pidana apabila tak mengetahui apabila uang itu ternyata dari hasil korupsi?
Mengenai hal tersebut, Yenti memberikan penjelasan soal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) pasif.
Artinya ada unsur subjektif yang harus dibuktikan.
Pihak yang menerima harusnya patut menduga, tak harus tahu secara pasti bahwa itu uang hasil korupsi.
Jika uang yang diberikan terlihat mencurigakan, misalnya, nominalnya begitu tinggi seharusnya sudah membuat curiga.
Namun, ketika pihak yang bersangkutan tetap menerima uang tersebut meski uang itu mencurigakan, ia bisa kena pidana apabila terbukti bahwa dana tersebut adalah hasil korupsi
S: tribunnews
0 Comments